Urban farming. Foto/google
Urban farming menjadi salah satu cara masyarakat perkotaan memenuhi kebutuhan pangan dengan memanfaatkan ruang sempit secara efektif. Praktik ini mencakup penanaman sayuran, buah-buahan, hingga sistem hidroponik dan akuaponik. Di Indonesia, upaya ini semakin digiatkan karena lahan kian terbatas dan harga pangan terus bergerak naik.
Dalam kajian ilmu waris yang digelar di Masjid Raya Cipinang Muara, Jakarta Timur, Selasa (2/12/2025), pakar fikih kontemporer Dr. Erwandi Tarmizi, MA menyampaikan dimensi lain dari urban farming, yaitu nilai sedekah yang terus mengalir.
Ia mengajak jamaah menanam pohon bermanfaat di halaman rumah, terutama pohon buah. “Itu termasuk sedekah terbaik, walaupun kita sedang tidur atau tidak menyadarinya,” ujarnya.
Ia mengutip hadis riwayat Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan sesuatu yang dimakan itu merupakan sedekahnya.” (HR Bukhari).
Menurut Dr. Erwandi, pahala tetap mengalir bahkan ketika buah yang tumbuh dipetik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik, atau dimakan hewan di sekitar rumah. Urban farming juga tidak memerlukan lahan luas. Pekarangan kecil tetap bisa dimanfaatkan untuk menanam. Halaman yang lapang memudahkan penanaman langsung di tanah melalui bedengan, yang bisa dikombinasikan dengan pot, polybag, atau vertikultur.
Pada halaman sempit, tanaman tetap bisa tumbuh melalui media pot, polybag, atau rak vertikal.Selain memberi suplai pangan bagi keluarga dan menumbuhkan gaya hidup ramah lingkungan, urban farming menjadi bentuk sedekah yang bertahan lama. Semakin banyak warga perkotaan mempraktikannya, ketahanan pangan kota akan semakin kuat, dan manfaat sosialnya menjangkau lebih banyak orang.
Sumber Berita:https://www.jakartamu.com/nilai-sedekah-dari-urban-farming-22635
