Bendera One Piece dan Reaksi Nyata: Antara Hiburan, Identitas, dan Kuasa


Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, warna-warni kemerdekaan bermunculan di mana-mana. Namun sejak beberapa tahun terakhir, ada satu warna tambahan yang selalu menyusup. Hitam pekat dengan tengkorak putih. Bendera bajak laut Jolly Roger dari One Piece.

Bendera itu berkibar di bawah sang Merah Putih. Kadang terlihat di bak truk bersama galon, gas elpiji 3 kg, dan ayam broiler. Kadang menempel di pagar kos seperti spanduk jual pulsa. Bahkan pernah terlihat menggantung di depan warung pecel lele.

Jumlahnya tidak satu dua. Banyak. Terlalu banyak untuk disebut kebetulan. Seolah ada kampanye nasional, padahal semuanya bermula dari kegemaran iseng.

Anak-anak muda mengibarkannya karena cinta. Mereka tumbuh bersama Luffy, Zoro, dan kawan-kawan. Mengikuti petualangan, tertawa bersama, menangis bersama. Bagi mereka, One Piece adalah teman tumbuh. Maka ketika bendera Jolly Roger dikibarkan di dunia nyata, itu ekspresi rasa suka. Tak lebih.

Namun tidak semua pihak bisa memandang ringan. Beberapa pejabat negara angkat bicara. Dalam kacamata mereka, bendera Jolly Roger adalah sebuah isyarat politik. Mereka menilai bendera bajak laut sebagai simbol pemberontakan. Sebuah isyarat disintegrasi yang akan memecah belah bangsa.

Bahkan terdapat laporan intelijen yang menyebutkan bahwa kemunculan simbol-simbol seperti bendera bajak laut diduga mengindikasikan adanya gerakan sistematis untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Justru karena pernyataan ini, situasinya jadi membesar. Orang-orang yang sebelumnya hanya nonton One Piece sambil lalu, kini mulai memperhatikan ulang. Bahkan yang tak pernah mengikuti ceritanya, mulai penasaran dan ikut menyimak.

Para kritikus sosial dan aktivis internet juga ramai-ramai memasang bendera yang sama. Sebagian memang ikut tren. Sebagian lain melihat peluang simbolik. Mereka membaca bendera Jolly Roger sebagai metafora perlawanan terhadap tirani kekuasaan.

Dunia One Piece yang mencerminkan ketidakadilan, korupsi kekuasaan, dan manipulasi hukum, semua juga terjadi di dunia nyata. Maka tak heran jika banyak yang mulai melakukan cocoklogi. Mereka menghubungkan realitas dalam manga dengan situasi sosial-politik Indonesia.

Tiba-tiba, kisah Luffy dan kawan-kawan terasa begitu relevan bagi para pengamat sosial. Dunia yang mereka tinggali penuh ketimpangan. Pemerintah Dunia korup. Raja-raja jahat. Keadilan dimanipulasi. Kekuasaan dijalankan seenaknya. Suara kebenaran ditekan. Semua terdengar familiar.

Ketika narasi-narasi ini mulai menyatu, bendera Jolly Roger pun berubah fungsi. Maka, bendera itu berubah menjadi sindiran visual yang sangat bertenaga. Tanpa perlu orasi. Tanpa perlu turun ke jalan. Cukup menggantung kain itu, dan pesannya sampai.

Ini bukan pertama kalinya budaya pop memantik kegaduhan politik. Beberapa tahun lalu, film Joker dicurigai sebagai pemicu pemberontakan karena menggambarkan rakyat kecil melawan elite penguasa. Simbol fiksi lain seperti topeng Guy Fawkes dalam film V for Vendetta pun berubah jadi ikon perlawanan global.

Sama seperti bendera ini, yang awalnya hanya simbol suka-suka, tapi berubah makna karena konteks sosial dan sensitivitas kekuasaan. Intinya, yang semula hanya permainan visual belaka atau sekadar iseng karena kecintaan tiba-tiba dalam sekejap berubah jadi pertarungan ideologis.

Di satu sisi, bendera Jolly Roger itu dilihat sebagai ancaman terhadap tatanan negara. Di sisi lain, ia dimaknai sebagai perlawanan terhadap tirani kekuasaan. Simbol yang awalnya cuma kain hitam dengan tengkorak di dunia One Piece kini diseret ke medan tafsir politik.

Dan seperti biasa, tafsir yang dimenangkan bukan soal niat awal, tapi soal siapa yang lebih dulu merasa terganggu.  Mungkin justru di situlah kekuatan budaya pop. Ia merayap pelan, dianggap remeh, lalu tiba-tiba meledak jadi wacana.

Inilah paradoksnya. Bendera Jolly Roger, yang kini jadi amunisi ideologis di Indonesia itu, sebenarnya lahir dari karakter yang tak suka berpikir rumit. Kalau kita lihat kembali keinginan Monkey D. Luffy sebagai tokoh utama, ia tak pernah memiliki ide-ide besar atau memikirkan hal-hal yang sangat filosofis.

Di Chapter 1049, saat bertarung melawan Kaidou, Luffy sempat ditanya, “Dunia seperti apa yang kamu inginkan?” Jawaban Luffy: dunia di mana semua temannya bisa makan sepuasnya. Sesederhana itu.

Jadi pikiran Luffy itu sederhana, yang rumit adalah tafsir-tafsirnya.

Sumber tulisan:muhammadiyah.or.id