Menjadi Insan Tangguh Bencana

 

    Banjir dan tanah longsor di Sumetara. Foto/ylbhi.or.id

  Bencana atau musibah adalah hal yang pasti. Kemarin di Sumatera, esok atau lusa bisa saja terjadi di Jakarta.”  Pernyataan Ustaz H. Sumaryono Bimroh dari RSIJ Pondok Kopi itu menjadi pengantar kajian tentang ketangguhan bencana  di Masjid Al-Huda, Cipinang Kebembem, Jakarta Timur, Rabu (17/12/2025) malam. 

Dia mengingatkan bahwa Al-Qur’an telah menegaskan adanya ujian bagi manusia. Surah Al-Baqarah ayat 155  menyebutkan bahwa manusia akan diuji dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan hasil bumi.

“Kalimat wa lanabluwannakum itu jelas, setiap manusia pasti akan menerima musibah atau bencana. Orang beriman tidak perlu kaget. Justru di situlah kita harus bersiap menjadi insan yang tangguh,” ujarnya.

Ustaz H. Sumaryono Bimroh. Foto: jakartamu.com/noor fajar asa

Ayat tersebut sekaligus memberi gambaran bahwa bentuk besar musibah yang menimpa manusia setidaknya berkisar pada lima hal: ketakutan, kelaparan, berkurangnya harta, hilangnya jiwa, dan rusaknya hasil alam. Pemahaman yang tepat atas realitas itu akan melahirkan sikap arif dan bijak, berpijak pada hukum sains, serta mendorong proses pencegahan dan mitigasi bencana secara sadar.

Bencana, lanjut Ustaz Sumaryono, ada yang murni berasal dari siklus alam, seperti gempa bumi tetapi ada pula bencana yang berkaitan erat dengan perilaku manusia. Eksploitasi alam tanpa kendali, pembalakan liar, dan aktivitas tambang yang mengabaikan daya dukung lingkungan disebut sebagai contoh kesalahan manusia dalam menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi.

Dalam kerangka itulah ketangguhan bencana tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan kesadaran sosial, etika lingkungan, dan kesiapan kolektif untuk saling menolong ketika musibah datang, kapan pun dan di mana pun.

Untuk itulah dibutuhkan  pemahaman bersama bahwa bencana adalah keniscayaan yang menuntut perubahan cara bersikap. Bagi penyintas, bencana mesti melahirkan kemampuan untuk bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Sementara masyarakat yang tidak terdampak memikul kewajiban moral membantu pemenuhan hak-hak korban serta memulihkan kondisi secara bermartabat.

Hal ini pula yang coba ditata ulang Muhammadiyah melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Nomenklatur Bahasa Indonesianya berubah dari Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) menjadi Lembaga Resiliensi Bencana (LRB). Perubahan ini resmi berlaku sejak 2022–2023 berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meski demikian, singkatan dan identitas MDMC tetap dipertahankan sebagai brand yang telah dikenal luas, termasuk di tingkat internasional.

Perubahan nomenklatur itu dimaknai sebagai upaya menaikkan cita-cita menjadi praktik nyata. Fokus tidak lagi semata pada penanganan darurat, tetapi pada ketangguhan atau resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana, sejak tahap pencegahan hingga pemulihan.

Sumber Berita:www.jakartamu.com