
Foto/istimewa
Oleh Fadhli Arsil | Pemimpin Umum Jakartamu.com
HARI ini, Indonesia kembali berdiri tegak di bawah langit merah-putih. Tujuh belas Agustus bukan sekadar tanggal, melainkan gema dari sumpah para mujahidin yang berjuang untuk satu kata yang dulu mustahil: “Merdeka”. Di setiap tiang bendera, di setiap baris lagu kebangsaan, kita mengenang bukan hanya kemenangan, tapi luka yang melahirkan bangsa.
Indonesia adalah negara yang lahir dari luka kolonialisme. Kita tahu rasanya dijajah, diremehkan, dan dipaksa tunduk. Kita tahu betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan yang dibayar dengan darah, air mata, dan pengorbanan yang tak terhitung. Maka, ketika kita merayakan kemerdekaan, seharusnya kita juga mewarisi satu hal yang tak kalah penting: solidaritas terhadap mereka yang belum merdeka.
Palestina adalah cermin yang menyakitkan. Di sana, anak-anak tumbuh tanpa jaminan hari esok. Di sana, tanah, rumah, bahkan mimpi bisa dirampas kapan saja. Dan dunia? Dunia terlalu sering memilih diam, atau sibuk mencari alasan untuk tidak peduli.
Palestina masih berjuang. Bukan untuk kemewahan, bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk hak paling dasar: hidup dengan martabat. Anak-anak Palestina tumbuh di bawah bayang-bayang letusan senjata dan bom, bukan lagu kebangsaan. Mereka belajar mengenal dunia dari balik puing, bukan dari buku sejarah. Dan setiap hari, mereka menulis babak baru tentang ketabahan, meski dunia sering kali memilih untuk tidak membaca.
Sebagai bangsa yang pernah dijajah, Indonesia punya tanggung jawab moral. Bung Karno tidak hanya bicara tentang kemerdekaan Indonesia, tapi tentang kemerdekaan segala bangsa. Kata “segala” itu bukan basa-basi diplomatik. Itu adalah komitmen ideologis. Maka, jika kita benar-benar menghormati warisan para pendiri bangsa, kita tidak boleh membiarkan kemerdekaan menjadi hak eksklusif.
Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang peduli. Ia tidak puas hanya dengan bendera sendiri berkibar, tapi gelisah ketika melihat bendera bangsa lain diinjak. Ia tidak hanya merayakan, tapi juga mendoakan, menyuarakan, dan—jika perlu—menegur dunia yang terlalu nyaman dalam ketidakpedulian.
Saya percaya, Indonesia punya suara yang didengar. Kita bukan negara kecil. Kita punya sejarah, punya moral, dan punya hati. Maka, mari kita gunakan itu. Mari kita jadikan Hari Kemerdekaan bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tapi juga tentang memperjuangkan masa depan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk Palestina, dan semua bangsa yang masih terpenjara.
Karena kemerdekaan yang egois adalah bentuk baru dari penjajahan. Dan kita, bangsa yang pernah dijajah, tahu betapa menyakitkannya itu. (*)
Sumber tulisan:https://www.jakartamu.com/