anak-anak putus sekolah karena miskin
Kabupaten Ramah Anak, faktanya ada ratusan ribu anak yang dipaksa berhenti belajar bukan karena malas, tapi karena kondisi.
Oleh Khoirul Anam, Aktivis Muhammadiyah Children Center
Kabupaten Ramah Anak (KRA) kedengarannya manis. Kayak nama menu dessert di kafe hipster.
Tapi jangan terkecoh, di balik spanduk warna-warni yang mulai pudar dimakan hujan, baliho bupati senyum full HD, dan jargon seperti Anak Terlindungi, Negara Maju, ada cerita getir yang bahkan gula jawa pun nggak bisa menetralkan.
Kita buka dulu datanya. Tahun 2024 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat 38 kabupaten/kota di Jawa Timur sudah pegang predikat Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Mulai dari tingkat pratama, madya, nindya, sampai utama. Keren bukan? Di brosur iya, tapi di lapangan? Ehm…
Mending kita ngomong pakai angka nasional biar nggak dibilang “nyerang daerah”.
Putus Sekolah: Naik Tipis, Luka Nggak Tipis
Data secara nasional, angka putus sekolah 2024 malah naik di beberapa jenjang. SD dari 0,17 % ke 0,19 %.
SMP dari 0,14 % ke 0,18 %, dan SMK tembus 0,28 %.
Jumlahnya nggak main-main sekitar 38.500 anak SD putus sekolah tahun itu.
Itu belum termasuk 730 ribu lebih anak lulusan SMP yang nggak melanjutkan sekolah.
Artinya, di negeri yang katanya “ramah anak” ini, ada ratusan ribu anak yang dipaksa berhenti belajar bukan karena malas, tapi karena kondisi.
Ada yang harus bantu orang tua jualan, ada yang kerja di sawah, ada juga yang… kawin.
Pekerja Anak
Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2024 jumlah pekerja anak rentan usia 10–17 tahun mengalami kenaikan dari 1,01 juta (2023) jadi 1,27 juta orang.
Angka kenaikannya 2,39 % menuju 2,85 % dalam setahun. Dan keseluruhan ada di perdesaan berada pada angka 2,82 %, sisanya di perkotaan menunjukkan angka di 1,72 %.
Bayangkan anak-anak yang mestinya sibuk ikut ekskul atau lomba cerdas cermat, malah sibuk bawa cangkul, ngojek, atau jadi buruh pabrik rumahan.
Dan ya, mereka bekerja bukan buat beli iPhone, tapi buat beli beras.
Pernikahan Dini: Daripada Zina ke Daripada Kelaparan
Pemerintah pusat bangga karena target menurunkan angka pernikahan anak dari 11,21 % (2018) menuju 8,74 % pada (2024).
Tapi mari jujur ribuan anak melakukan pernikahan di bawah umur.
Kementerian Agama mencatat ada 4.150 pasangan yang dapat dispensasi nikah pada 2024, sedikit turun dari 5.489 di 2023.
Dan kita tahu, banyak pernikahan itu bukan cinta sejati ala sinetron, tapi hasil tekanan ekonomi atau kehamilan tak diinginkan.
Tragisnya, banyak juga yang cuma bertahan seumur jagung lalu bercerai.
Jadilah mereka janda atau duda belia, tanpa pendidikan, tanpa pekerjaan, plus bonus trauma.
Branding vs Realitas
Indikator KLA itu ada 24 butir mulai dari kesehatan, pendidikan, partisipasi anak, dan lain-lain.
Tapi sayangnya, banyak daerah cuma fokus di acara seremonial.
Bentuk Forum Anak? Check. Gelar Festival Kreativitas? Check. Upload dokumentasi ke media sosial? Double check.
Tapi bagaimana dengan Sistem Perlindungan Kesehatan Mental Anak?
Bagaimana SOP deteksi dini gangguan psikologis? Bagaimana layanan rujukan untuk anak korban bullying atau KDRT?
Jawaban jujurnya belum ada sistem nasional yang kuat.
Terlebih lagi pendampingan untuk para guru BK sangat kurang, mereka tidak dibekali pelatihan memadai, orang tua nggak tahu harus berbuat apa, dan pemerintah daerah sibuk pasang spanduk Stop Bullying di mobil dinas.
Konon katanya, pemerintah sedang bersiap untuk pembelajaran deep learning (pembelajaran mendalam), yang fokus utamanya memperkuat peran Guru BK.
Semoga itu benaran dan bukan sekadar yepping karena kita sedang gagap menghadapi persoalan utamanya.
Yang pada akhirnya kita melahirkan generasi yang mentalnya habis terkikis pelan-pelan.
Anak-anak dihukum karena miskin, diabaikan karena berbeda, dan dibiarkan jadi dewasa sebelum waktunya. Sekali lagi kita butuh sistem.
Kalau semua ini terus dibiarkan, Kabupaten Ramah Anak hanya akan jadi label formalitas cantik di piagam, pahit di kenyataan.
Dan mungkin, lebih jujur kalau slogannya diganti jadi Kabupaten Pura-Pura Ramah Anak, tapi Aslinya Bikin Anak Lelah. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto
Sumber tulisan:tagar.co