Kemerdekaan dalam Perspektif Islam: Batasan, Landasan, dan Perjuangan


Pagi itu, di alun-alun Yogyakarta, bendera merah putih berkibar tinggi diiringi lantunan takbir. Peristiwa ini terjadi setahun setelah Proklamasi 1945, ketika para ulama dan santri turun ke jalan memperingati kemerdekaan Republik. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2010) mencatat, paduan antara nasionalisme dan spirit keagamaan inilah yang menjadi energi perlawanan terhadap kolonialisme.

Namun, bagi sebagian umat Islam, nasionalisme adalah ide yang datang dari Barat. Ia lahir dari rahim Revolusi Prancis dan berkembang di Eropa abad ke-19, lalu menyebar ke dunia Islam melalui gerakan anti-imperialisme. Pertanyaannya, apakah Islam membenarkan konsep nasionalisme yang membatasi umat dalam sekat negara-bangsa?

Antara Pan-Islamisme dan Nasionalisme

Sayid Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq (1964) menyebut bahwa Islam tidak mengenal nasionalisme dalam arti sempit yang mengagungkan satu bangsa di atas yang lain karena umat Islam disatukan oleh aqidah, bukan ras atau wilayah. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Pan-Islamisme yang dipopulerkan Jamal al-Din al-Afghani, yang mengajak umat bersatu di bawah satu kepemimpinan politik.

Tapi sejarah mencatat, banyak tokoh Islam yang justru memadukan nasionalisme dengan ajaran agama. H.O.S. Tjokroaminoto misalnya, dalam Islam dan Sosialisme (1924), menekankan bahwa kemerdekaan bangsa adalah bagian dari jihad melawan penindasan. Sementara K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad pada 1945 yang secara eksplisit menyatakan membela tanah air adalah kewajiban agama (fardhu ‘ain).

Dalam jurnal Studia Islamika (2019), Ahmad Syafii Mufid menulis bahwa nasionalisme di dunia Islam mengalami transformasi: dari penolakan awal terhadap konsep negara-bangsa menjadi penerimaan selektif, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Dalil Agama dan Konsep Kebangsaan

Beberapa ulama modern menafsirkan Al-Qur’an untuk mendukung prinsip kebangsaan. Surah al-Hujurat ayat 13 sering dikutip: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”

Tafsir M. Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an (1996) menegaskan ayat ini mengakui keberadaan bangsa dan suku sebagai bagian dari sunnatullah, bukan untuk saling merendahkan, melainkan untuk bekerja sama.

Pandangan ini memberi legitimasi bagi konsep nasionalisme inklusif yang tidak memutus ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) maupun ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).

Nasionalisme sebagai Alat Perlawanan

Dalam konteks kolonialisme, nasionalisme menjadi kendaraan politik yang efektif. Di Mesir, gerakan Wafd di awal abad ke-20 menggunakan simbol-simbol Islam untuk menggalang dukungan rakyat melawan Inggris. Di Indonesia, Sarekat Islam (SI) menggabungkan narasi kebangkitan Islam dengan perlawanan terhadap monopoli ekonomi kolonial.

Jurnal Indonesia and the Malay World (2015) mencatat, SI memanfaatkan simbol agama untuk memperkuat rasa kebersamaan, sekaligus memperluas basis dukungan lintas etnis dan wilayah. Inilah yang membuat nasionalisme bercorak Islam tetap hidup dalam bingkai negara-bangsa.

Ketegangan Pasca-Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, muncul ketegangan antara nasionalisme sekuler dan nasionalisme religius. Perdebatan Piagam Jakarta 1945, yang semula memuat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” lalu dihapus, adalah contoh kompromi politik demi persatuan.

Bagi sebagian kelompok Islam, ini adalah kemunduran. Namun, menurut Azyumardi Azra dalam Islam Substantif (2000), kompromi ini justru menyelamatkan republik dari perpecahan dini. Islam tetap memberi nilai moral bagi negara, sementara nasionalisme menjadi perekat identitas kebangsaan.

Islam, Kemerdekaan, dan Kewarganegaraan Global

Di era modern, diskusi tentang nasionalisme dalam Islam tak hanya berkisar pada batas negara, tapi juga pada hak dan kewajiban warga negara. Konsep dâr al-‘ahd (wilayah perjanjian) dan muwâthanah (kewarganegaraan) dalam fikih kontemporer, seperti dijelaskan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Jihad (2009), menegaskan bahwa umat Islam yang hidup dalam negara modern terikat pada kontrak sosial, termasuk membela negara dari ancaman luar.

Hal ini membuka ruang bagi integrasi antara loyalitas kebangsaan dan solidaritas umat global. Sebab, bagi umat Islam, membela kemerdekaan bukan hanya soal mempertahankan wilayah, tetapi juga menjaga martabat dan keadilan.

Di Persimpangan Identitas

Nasionalisme dalam perspektif Islam hari ini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia menjadi alat memperjuangkan kedaulatan dan keadilan. Di sisi lain, jika didewakan, ia berpotensi memecah belah umat. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara loyalitas kepada bangsa dan komitmen pada nilai-nilai universal Islam.

Seperti kata K.H. Wahid Hasyim pada sidang BPUPKI 1945, “Islam tidak melarang mencintai tanah air. Justru iman mendorong kita untuk menjaga kemerdekaan, karena kemerdekaan adalah rahmat Allah yang wajib disyukuri.” (*)

Sumber Tulisan:Jakarta.mu